Aravind Adiga
Autor(a) de The White Tiger
About the Author
Image credit: Mark Pringle
Obras por Aravind Adiga
Siste mannen i tornet 1 exemplar
Associated Works
Etiquetado
Conhecimento Comum
- Data de nascimento
- 1974-10-23
- Sexo
- male
- Nacionalidade
- India
Australia - Local de nascimento
- Chennai, India
- Locais de residência
- Mumbai, India
Madras, India
Mangalore, India
Sydney, New South Wales, Australia - Educação
- Columbia University (Columbia College)
University of Oxford (Magdalen College)
Canara High School
St. Aloysius High School
James Ruse Agricultural High School - Ocupações
- journalist
novelist - Agente
- David Godwin Associates, Ltd.
Fatal error: Call to undefined function isLitsy() in /var/www/html/inc_magicDB.php on line 425- Aravind Adiga was born in India in 1974 and raised partly in Australia. He attended Columbia and Oxford universities. A former correspondent for Time magazine, he has also been published in the Financial Times. He lives in Mumbai, India.
Membros
Críticas
Listas
Five star books (1)
First Novels (1)
2000s decade (1)
All Things India (1)
Asia (1)
Asia (2)
Epistolary Books (1)
AP Lit (1)
Best Satire (1)
My TBR (1)
Booker Prize (1)
Prémios
You May Also Like
Associated Authors
Estatísticas
- Obras
- 8
- Also by
- 1
- Membros
- 11,835
- Popularidade
- #1,986
- Avaliação
- 3.7
- Críticas
- 517
- ISBN
- 223
- Línguas
- 20
- Marcado como favorito
- 5
Sesuai dengan blurb, The White Tiger menceritakan tentang pria bernama Balram yang membunuh majikannya sendiri. Balram adalah seorang sopir yang sejak kecilnya putus sekolah hingga bekerja serabutan — menjadi pemukul batu bara, manusia laba-laba, dan pelayan di warung teh. Dia kemudian kursus menjadi sopir untuk kemudian bekerja bersama Ashok. Ashok sendiri sama-sama berasal dari desa kumuh yang sama dengan Balram, tetapi nasib mereka berbeda. Ashok begitu dihormati Balram sampai kemudian dia memutuskan menggorok majikannya sendiri.
Kisah Balram secara sekilas menarik karena menggambarkan kesenjangan sosial dan kondisi carut-marut India. Namun secara tersurat Aravind Adiga menuliskan kritik terhadap Islamofobia yang begitu kuat di India.
Secara blak-blakan, penulis mengatakan empat penyair terbaik di dunia adalah penyair Muslim. Lewat sudut pandang Balram, penulis mengatakan ada tiga penyair Muslim yang dia hormati di dunia, antara lain Rumi, Iqbal, dan Mirza Ghalib. Bahkan, Balram terngiang-ngiang syair salah satu dari mereka:
"Sudah bertahun-tahun kau mencari kuncinya / Padahal pintunya selalu terbuka!"
Aravind Adiga seakan-akan mengatakan secara halus bahwa kesalahan India sulit maju (saat bukunya ditulis) adalah karena mengesampingkan kaum Muslim di tanah mereka. Warga India masih saja bagaikan kaum tersesat yang membutuhkan keajaiban di depan mata untuk bisa bergerak maju, padahal keajaiban itu hadir dalam bentuk umat Muslim di sekitarnya.
Namun sesuai dengan babak akhir buku, tercerminlah bagaimana India akan terus bergerak: berusaha maju dengan konstruksi Islamofobia.… (mais)